REDEFINISI 104: Hadirat
Tuhan
“Kita memasuki
hadirat Tuhan. Kita rasakan kuasa-Nya. Kita puji dan sembah Dia di
hadirat-Nya. Hadirat-Nya telah turun memenuhi tempat ini ....”
Demikianlah kata-kata yang acapkali
kita dengarkan saat ibadah atau kebaktian. Pemimpin ibadah atau
gembala biasa mengatakan itu ketika menyampaikan ajakan kepada
jemaat. Ada juga lagu yang syairnya mengatakan, “Masuk hadirat-Nya
dengan hati bersyukur, memuji Dia ....” Kata-kata itu terdengar
indah dan syair pun terdengar manis di indera pendengaran kita. Saat
itu, para hadirin seolah-olah terbius dan terbawa suasana yang
membuat bulu kuduk berdiri karena agungnya. Padahal itu semua perlu
dipelajari dan definisi ulang. Apakah hadirat Tuhan itu dan bagaimana
hadirat Tuhan itu? Jangan sampai ternyata tanpa sadar kita telah
melecehkan Tuhan lewat perbuatan kita.
Allah adalah Allah yang Omnipresent.
Kata “omni” berasal dari kata Latin yang berarti “seluruh,
semua.” Kata “omnipresent” berakar dari bahasa Latin
pertengahan “omni- omni-
+ praesent- present”
yang artinya ada atau hadir di mana pun pada saat yang sama. Jadi,
Allah itu ada dan hadir di mana pun pada waktu yang sama. Biasanya
kita menyebutkan bahwa Allah itu Mahahadir. Ayat-ayat yang
mendukungnya ada banyak: Mazmur 139:7-18; Yeremia 23:24; Amsal 15:3;
1 Raja-raja 8:27; Kisah Para Rasul 17:24; Kolose 1:17; Matius 18:20;
Yesaya 57:15; Ibrani 4:12; Yesaya 66:1; Ayub 34:21, dan masih banyak
lagi. Keyakinan kita akan hal ini seharusnyalah terpancar dalam
praktik ibadah dan pemujaan kita akan Dia.
Dengan dasar karakter Allah yang
Mahahadir, kita bisa memahami frase “hadirat Tuhan” itu dengan
lebih baik dan mempraktikkannya dengan lebih tepat dalam hidup
sehari-hari kita. Kata “hadirat” menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia daring berarti “hadapan”. Jadi, “di hadirat Tuhan”
berarti “di hadapan Tuhan”. Jika Tuhan itu Mahahadir, maka di
hadapan-Nya itu bisa berarti di mana pun, tidak terbatas oleh ruang
dan waktu, tidak dibatasi oleh aba-aba. Kita berada di hadapan Tuhan
di mana pun kita berada. Kita berada di hadapan Tuhan apa pun yang
kita lakukan. Tidak ada istilah “memasuki hadirat Tuhan” karena
kita tidak pernah keluar dari hadapan-Nya. Hadirat-Nya tidak bisa
turun karena Dia ada dan meliputi segala sesuatu.
Frase “memasuki hadirat Tuhan”
justru melecehkan karakter Tuhan yang Mahahadir. Kita mencoba untuk
membatasi-Nya dan mengecilkan-Nya seolah-olah Dia akan turun dan
hadir saat kita memerintah dan menginginkan-Nya. Sungguh, kita sudah
bertindak kurang ajar terhadap Tuhan. Akibatnya, kita bisa bersikap
semau kita seolah-olah Tuhan hanya hadir saat kita mengundang Dia.
Kesadaran akan pengakuan iman kita akan
karakter Allah seharusnya mewarnai seluruh aspek hidup kita. Jika
kita percaya Allah itu Mahahadir, kita menjadi takut akan Dia apa pun
yang kita kerjakan. Kita takut berbuat dosa karena Dia yang Mahahadir
pasti tahu saat kita berbuat dosa itu. Kita akan selalu berpikir
bagaimana kita bisa menyenangkan Dia yang Mahahadir yang selalu ada
bersama kita. Bahkan, bagi orang percaya Tuhan tinggal di dalam hati.
Ini lebih dahsyat lagi. Kita akan menjaga tiap kata-kata yang
meluncur dari bibir mulut kita bukan hanya karena takut melukai hati
pasangan, anak-anak, sesama kita, melainkan juga takut melukai
perasaan Tuhan. Saat akan melakukan hal yang tidak berkenan di
hadapan Tuhan di kantor, di jalan, di rumah, di mana pun kita akan
berpikir, “Apakah Tuhan akan disenangkan dengan apa yang kita
pikirkan, katakan, dan lakukan?” Ini sungguh merupakan perjuangan
sehari-hari kita di “hadirat Tuhan.” Keyakinan kita akan
kehadiran Tuhan sungguh mengubah banyak hal dalam hidup kita.
Demikianlah kita bisa menjadikan Alkitab sebagai otoritas dan praktik
hidup kita. Ayo hidup benar di HADIRAT TUHAN ... (D.B.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar